Jakarta – Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, baik magister maupun doktoral, merupakan sebuah pilihan dan peluang baik bagi perempuan maupun laki-laki. Meski begitu, wanita punya tantangan tersendiri saat melakukan hal tersebut, lho.
Mereka yang memperoleh gelar master atau doktor sebelum menikah banyak mengalami konflik. Apalagi berkaitan dengan masa pembelajaran yang telah usai.
Jadi apa lagi bedanya dengan menempuh studi doktoral? Ini adalah penjelasan rinci
Perbedaan S3 sebelum dan sesudah menikah
Sebelum menikah
Farahdiba Rahma Bachtiar, dosen UIN Alauddin Makassar menjelaskan, memulai studi doktoral, hal terpenting yang harus dimiliki mahasiswa adalah sistem pendukung. Jelas sekali apa yang dia rasakan saat sedang belajar.
“Tantangan gelar doktor adalah support system itu penting. Karena saat itu aku masih lajang. Jadi saya merasa tidak punya support system yang tepat karena saya mengerjakannya sendirian,” ujarnya dalam komentar di Instagram Live OptShe dan PhD Mama Indonesia “Mengejar gelar PhD atau keluarga: Senang rasanya menghadapi masalah ini.
Baginya, mengejar gelar doktor merupakan sebuah perjalanan panjang, apalagi jika dilakukan di luar negeri. Berbeda dengan pendidikan di universitas yang masih memiliki banyak teman, PhD berbeda bagi Diba.
“Tidak ada teman untuk diajak ngobrol, di rumah tidak ada (punya) teman untuk mengadu. Jadi aku merasa sendirian, aku bingung apa yang aku lakukan ini benar atau tidak, apa gunanya. PhD nanti, ” dia menambahkan. Meski begitu, Diba menjelaskan bahwa kita tidak boleh larut dalam perasaan tersebut.
Jika detikers kuliah di luar negeri, salah satu caranya adalah dengan bertemu rekan-rekan dari negara yang sama. Saat kuliah di Australia, Diba bertemu dengan teman-teman PhD Mama Indonesia. Dari situlah ia dikuatkan, didengarkan keluh kesahnya, dan mendapat dukungan lain meski bukan suaminya. Diba berkata,
“Meski bukan suami, sudah saatnya menjalin hubungan dengan seseorang. Inilah makna meraih gelar doktor sebelum menikah.”
Saran jika Anda ingin memulai
Setelah menikah
Berbeda dengan Diba, Hani Yulindrasari, pakar psikologi gender, dosen dan direktur Pencegahan dan Pengobatan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menjelaskan pentingnya mengejar gelar doktor ketika memulai sebuah keluarga.
Hani menjelaskan, dirinya memilih melanjutkan studi doktoral di University of Melbourne, Australia. Dengan dukungan suaminya, ia bergabung dengan keluarga kecilnya melalui pengalaman panjang studi doktoral.
Karena anak-anaknya masih kecil, ia merasa situasinya berbeda dengan mahasiswa S3 lainnya. “Sebenarnya saya adalah mahasiswa PhD paruh waktu dan ibu penuh waktu. Artinya, sejak saya bangun, saya mengurus anak-anak, rumah, dan sebagainya,” kata Hani. Tidak melepaskan tugasnya sebagai ibu dan istri seringkali membuatnya tidak punya waktu untuk tidur. Ia menghabiskan malamnya untuk mengejar studi doktoral di bidang kreativitas dan pengembangan. Kadang tidur saya kurang nyenyak karena tidur larut malam, dan saya baru bisa belajar pada jam 9 malam, saat anak-anak sudah tidur.
Dari jam sembilan pagi sampai jam empat pagi, saya belajar. Jadi dia tidur setelah jam 4, bangun jam 6 pagi dan kembali mengurus anak,” tambahnya. Menurut Hani, hal ini sangat berbeda dengan kondisi saat ia menempuh studi S2 saat masih lajang. Saat itu, ia banyak menghabiskan waktunya di universitas dan mempelajari berbagai hal baru.
Namun, selama menempuh pendidikan doktoral, ia merasa pengetahuannya masih sedikit. Namun pengetahuan lain tentang peran sebagai ibu berkembang dengan baik. Perasaan ini membuatnya sedih hingga depresi. Menurutnya, tindakan suportif sangat penting dalam proses ini.
“Saat aku depresi, anak-anak dan suamiku menjadi pendukung pertamaku. Merekalah yang memelukku dan berkata, ‘Jangan tinggalkan ibu, jangan menyerah, kamu lelah, katakan saja. Bu. ” guru dan kamu lelah. Ibu bisa istirahat, Bu,” tambahnya.
Menurut Hani, dorongan dari anak dan suaminya menjadi kekuatan terbesar yang membuat dirinya bisa menyelesaikan studinya.
Leave a Reply